Dari Insole ke Ikon: Awal Mula New Balance

Dari Insole ke Ikon: Awal Mula New Balance – Ketika berbicara tentang New Balance, banyak orang langsung membayangkan sepatu berdesain tebal, berwarna abu-abu klasik, dengan tampilan sederhana namun terasa sangat nyaman. Model-model seperti New Balance 990, 574, dan 993 kini dikenal sebagai simbol gaya “Dad Shoe” — sepatu yang dulunya dianggap konservatif, tetapi kini justru menjadi tren global di dunia mode. Namun, di balik popularitasnya, New Balance memiliki kisah panjang yang menarik: dari produsen sol kaki kecil di Boston hingga menjadi merek global bernilai miliaran dolar.

Kisah ini dimulai pada tahun 1906, ketika seorang imigran asal Inggris bernama William J. Riley mendirikan New Balance Arch Support Company di Boston, Massachusetts. Riley bukanlah pengusaha mode, melainkan seorang ahli ortopedi yang terobsesi dengan kenyamanan dan keseimbangan kaki manusia. Ia percaya bahwa sepatu yang baik bukan hanya soal penampilan, tetapi harus mampu menjaga postur tubuh dan mencegah cedera.

Nama “New Balance” sendiri terinspirasi dari pengamatan Riley terhadap ayam di halaman rumahnya. Ia memperhatikan bagaimana ayam bisa berdiri dengan stabil di atas tiga jari kakinya. Dari situ, Riley mengembangkan sistem tiga titik penopang lengkungan kaki, yang ia sebut sebagai “balance system”. Filosofi keseimbangan inilah yang menjadi fondasi desain setiap produk New Balance hingga kini.

Pada awalnya, perusahaan ini tidak membuat sepatu sama sekali. Mereka hanya menjual insole (alas kaki tambahan) yang bisa dipasang pada sepatu lain untuk meningkatkan kenyamanan. Pelanggannya sebagian besar adalah pekerja pabrik dan polisi yang berdiri seharian. Inovasi Riley mendapat sambutan positif karena produk buatannya benar-benar membantu mengurangi rasa lelah di kaki.

Pada tahun 1930-an, perusahaan mulai berkembang di bawah kepemimpinan Arthur Hall, salah satu karyawan Riley yang kemudian membeli perusahaan tersebut. Hall dan istrinya, Eleanor, melanjutkan semangat Riley untuk menciptakan produk fungsional yang fokus pada kesehatan kaki. Mereka memperluas pasar dengan membuat sepatu kustom untuk atlet, terutama pelari dan pemain baseball.

Namun, titik balik terbesar datang pada tahun 1956, ketika pasangan Eleanor dan Paul Kidd, yang merupakan anak dan menantu Hall, mengambil alih perusahaan. Mereka mulai memproduksi sepatu lari pertama New Balance, yaitu Trackster pada tahun 1961. Sepatu ini revolusioner karena menjadi sepatu lari pertama di dunia dengan berbagai pilihan lebar kaki (width sizing) — mulai dari sempit hingga lebar.

Inovasi ini menjadikan New Balance sebagai pionir di dunia sepatu olahraga. Trackster juga menjadi sepatu pilihan banyak sekolah dan klub atletik di Amerika. Namun, meski produknya mulai dikenal, perusahaan tetap mempertahankan pendekatan tradisional: produksi terbatas, kualitas tinggi, dan tidak agresif dalam pemasaran.

Selama beberapa dekade berikutnya, New Balance tetap dikenal sebagai merek “serius” yang fokus pada fungsi dan kenyamanan, bukan gaya. Inilah yang membuatnya berbeda dari kompetitor besar seperti Nike, Adidas, atau Puma, yang pada era 1970-an dan 1980-an gencar mengandalkan iklan dan atlet terkenal.

New Balance bahkan terkenal karena tidak menggunakan selebritas sebagai duta merek, dengan alasan bahwa performa dan kualitas produk seharusnya berbicara sendiri. Strategi ini justru membangun citra unik: New Balance dianggap jujur, otentik, dan tanpa pretensi — nilai yang kemudian menjadi fondasi dari estetika “Dad Shoe” yang ikonik di masa depan.


Dari Fungsional ke Fashion: Evolusi Estetika ‘Dad Shoe’

Memasuki tahun 1980-an hingga awal 1990-an, New Balance semakin dikenal di kalangan pelari profesional dan komunitas atletik. Seri 990, yang diluncurkan pertama kali pada tahun 1982, menjadi simbol keunggulan teknis merek ini. Sepatu tersebut menggunakan teknologi ENCAP, yaitu kombinasi antara bantalan busa EVA yang ringan dan midsole polyurethane yang tahan lama.

Yang menarik, harga New Balance 990 saat itu mencapai $100, menjadikannya salah satu sepatu lari termahal di pasaran. Namun justru karena itu, sepatu ini menjadi lambang kualitas premium. Kalimat promosi pertamanya berbunyi: “When you’re the first, you have to be the best.”

Seiring waktu, desain 990 dan seri turunannya (993, 997, 992, hingga 990v6) menjadi sangat khas. Bentuk sol tebal, warna netral seperti abu-abu atau biru tua, serta logo “N” besar di sisi sepatu menciptakan tampilan sederhana namun elegan. Desain ini awalnya dibuat murni fungsional — untuk menopang kaki dan menjaga stabilitas — tetapi justru menjadi ikon gaya retro yang disukai lintas generasi.

Di sisi lain, perubahan tren mode turut mendorong popularitas New Balance. Pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, muncul fenomena “normcore”, yaitu gaya berpakaian yang menonjolkan kesederhanaan, anti-fashion, dan kenyamanan. Celana jeans longgar, kaos polos, dan sepatu chunky menjadi simbol gaya hidup realistis yang menolak glamor berlebihan.

Sepatu New Balance — terutama seri 990 dan 574 — secara alami masuk ke dalam tren ini. Mereka dipakai oleh para ayah pekerja kantoran, dosen universitas, hingga pelari paruh waktu, yang memilih sepatu karena kenyamanan, bukan gaya. Dari sinilah istilah “Dad Shoe” lahir.

Istilah ini awalnya bernuansa ejekan terhadap gaya pria paruh baya yang dianggap tidak modis. Namun ironisnya, generasi muda justru mengadopsi gaya tersebut sebagai bentuk ekspresi anti-tren. Sekitar tahun 2015 ke atas, “Dad Shoe” menjadi fenomena global di dunia mode. Desainer seperti Balenciaga, Yeezy, dan Louis Vuitton mulai memproduksi sepatu tebal ala New Balance, namun dengan harga fantastis.

Alih-alih tersaingi, New Balance justru menikmati kebangkitan citra barunya. Merek ini dianggap otentik karena memang telah lama eksis di gaya tersebut — bukan sekadar mengikuti tren. Kolaborasi dengan merek streetwear seperti Aimé Leon Dore, JJJJound, Casablanca, dan bahkan label mewah seperti Stone Island, semakin memperkuat posisi New Balance di dunia fashion modern.

Selain dari sisi desain, faktor lain yang membuat New Balance dihormati adalah komitmen mereka terhadap produksi lokal. Hingga saat ini, sebagian besar sepatu premium mereka masih dibuat di AS (Made in USA) dan Inggris (Made in UK) dengan kontrol kualitas ketat. Ini menjadi nilai tambah di era fast fashion yang cenderung mengorbankan kualitas demi efisiensi biaya.

Citra “Dad Shoe” juga semakin melekat karena asosiasi dengan figur-figur ikonik yang memakai sepatu New Balance tanpa niat gaya — seperti Steve Jobs (yang terkenal dengan kombinasi New Balance 992 dan turtleneck hitamnya), Barack Obama, hingga Larry David dari serial Curb Your Enthusiasm. Sosok-sosok ini memperkuat citra New Balance sebagai simbol kenyamanan, kepraktisan, dan keaslian yang tidak dibuat-buat.

Selain itu, teknologi yang diusung New Balance terus berkembang. Model seperti Fresh Foam, FuelCell, hingga NDurance outsole menunjukkan bahwa meskipun dikenal klasik, New Balance tidak berhenti berinovasi. Mereka berhasil menyeimbangkan kenyamanan biomekanis dengan estetika minimalis, sesuatu yang jarang bisa dicapai merek lain.

Pada 2020-an, New Balance berhasil menciptakan keseimbangan antara warisan dan inovasi. Seri 550, 327, dan 9060 misalnya, membawa nuansa retro ke pasar streetwear modern, dan laku keras di kalangan muda. Kolaborasi dengan desainer muda seperti Teddy Santis (Aimé Leon Dore) juga memperkuat citra New Balance sebagai merek “cool dad” — klasik, nyaman, tapi tetap stylish.

Dalam lanskap industri mode yang cepat berubah, keunggulan New Balance justru terletak pada konsistensi dan kejujuran desainnya. Mereka tidak berusaha menjadi paling trendi, melainkan mempertahankan DNA mereka: sepatu yang dibuat untuk berjalan jauh, bukan hanya tampil di foto.

Bisa dikatakan, New Balance telah mengubah persepsi tentang “tidak modis” menjadi “abadi”. Gaya ‘Dad Shoe’ yang dulu dianggap kuno kini menjadi simbol orisinalitas dan gaya hidup santai — sesuatu yang banyak dicari generasi muda di tengah budaya visual yang serba berlebihan.


Kesimpulan

Perjalanan New Balance adalah contoh nyata bagaimana sebuah merek bisa bertahan lebih dari satu abad tanpa kehilangan jati diri. Dimulai dari inovasi sederhana berupa insole untuk keseimbangan kaki, New Balance tumbuh menjadi merek global yang memadukan kenyamanan, kualitas, dan kejujuran desain.

Filosofi keseimbangan yang diwariskan William J. Riley lebih dari sekadar prinsip biomekanis — ia menjadi filosofi merek: menjaga keseimbangan antara fungsi dan gaya, antara masa lalu dan masa depan. Dalam dunia mode yang berubah cepat, New Balance berhasil membangun citra yang otentik dan relevan lintas generasi.

Fenomena ‘Dad Shoe’ adalah bukti bahwa kenyamanan dan keaslian selalu memiliki tempat di hati konsumen. Gaya sepatu yang sederhana, sol tebal, dan warna netral yang dulu dianggap “biasa” kini menjadi simbol keanggunan fungsional. Di tengah persaingan merek yang berlomba-lomba menampilkan desain futuristik, New Balance tetap berdiri teguh di jalur yang mereka rintis sendiri.

Kesuksesan mereka bukan hanya karena desain atau kolaborasi dengan merek besar, tetapi karena konsistensi nilai — membuat sepatu untuk orang nyata, dengan kebutuhan nyata.

Dari ayam di halaman rumah William J. Riley hingga runway mode Paris dan Tokyo, perjalanan New Balance membuktikan bahwa inovasi sejati tidak selalu harus mencolok. Kadang, justru dalam kesederhanaan, kenyamanan, dan kejujuran desain, sebuah merek bisa menemukan kekuatan dan daya tarik yang abadi.

Dan begitulah, New Balance — sang “Dad Shoe” sejati — terus melangkah dengan mantap, membawa warisan keseimbangan yang tak lekang oleh waktu.

Scroll to Top